Minggu, 22 November 2015

HAK ASASI MANUSIA DALAM ISLAM

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh tuhan yang maha pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati.) oleh karena itu, tidak ada kekuasaan apapun yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian, bukan berarti manusia dengan hak-haknya dapat berbuat semaunya. Hak asasi yang dimiliki oleh manusia telah dideklerasikan oleh ajaran islam jauh sebelum masyarakat(Barat) mengenalnya, melalui berbagai ayat Al-Qur’an misalnya manusia tidak dibedakan berdasarkan warna kulitnya, rasnya tingkat sosialnya. Allah menjamin dan memberi kebebasan pada manusia untuk hidup dan merasakan kenikmatan dari kehidupan, bekerja dan menikmati hasil usahanya, memilih agama yang diyakininya.
HAM terbagi menjadi 2 HAM Menurut barat dan menurut islam. HAM barat bersifat anthroposentris, yaitu segala sesuatu berpusat pada manusia sehingga menempatkan manusia sebagai tolak ukur segala sesuatu. HAM islam bersifat theosentris, yaitu segala sesuatu berpusat pada Allah.Dalam konsep demokrasi modern, kedaulatan rakyat merupakan inti dari demokrasi sedang demokrasi islam meyakini bahwa kedaulatan Allah lah yang menjadi inti dari demokrasi.
Hak asasi manusia dalam Islam tertuang secara jelas untuk kepentingan manusia, lewat syari’ah Islam yang diturunkan melalui wahyu. Menurut syari’ah, manusia adalah makhluk bebas yang mempunyai tugas dan tanggung jawab, dan karenanya ia juga mempunyai hak dan kebebasan. Dasarnya adalah keadilan yang ditegakkan atas dasar persamaan atau egaliter, tanpa pandang bulu. Artinya, tugas yang diemban tidak akan terwujud tanpa adanya kebebasan, sementara kebebasan secara eksistensial tidak terwujud tanpa adanya tanggung jawab itu sendiri. Sistem HAM Islam mengandung prinsip-prinsip dasar tentang persamaan, kebebasan dan penghormatan terhadap sesama manusia. Persamaan, artinya Islam memandang semua manusia sama dan mempunyai kedudukan yang sama, satu-satunya keunggulan yang dinikmati seorang manusia atas manusia lainya hanya ditentukan oleh tingkat ketakwaannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Hujarat ayat 13, yang artinya sebagai berikut : “Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kaum adalah yang paling takwa.”
Hak asasi dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang umum dikenal. Sebab seluruh hak merupakan kewajiban bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah saw pernah bersabda: "Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu." (HR. Bukhari dan Muslim). Maka negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi ini, melainkan mempunyai kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini. Sebagai contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan sosial bagi setiap individu tanpa ada perbedaan jenis kelamin, tidak juga perbedaan muslim dan non-muslim. Islam tidak hanya menjadikan itu kewajiban negara, melainkan negara diperintahkan untuk berperang demi melindungi hak-hak ini. Dari sinilah kaum muslimin di bawah Abu Bakar memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Negara juga menjamin tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak ini dari pihak individu. Sebab pemerintah mempunyai tuga sosial yang apabila tidak dilaksanakan berarti tidak berhak untuk tetap memerintah.
Sehubungan dengan hal tersebut, ada beberapa hal yang perlu disikapi tentang hak asasi manusia adalah sebagai berikut:
1. Hifzh al-Din, yaitu memberikan jaminan hak kepada umat Islam untuk memelihara agama dan keyakinannya. Islam juga menjamin sepenuhnya atas identitas agama yang bersifat lintas etnis. Oleh karena itu, Islam menjamin kebebasan beragama dan melarang adanya pemaksaan agama yang satu dengan yang lain
2. Hifzh al-Nafs wa al-‘irdh, yaitu memberikan jaminan hak atas setiap jiwa (nyawa) manusia, untuk tumbuh dan berkembang secara layak. Dalam hal ini Islam menuntut adanya keadilan, pemenuhan kebutuhan dasar (hak atas penghidupan) pekerjaan, hak kemerdekaan dan keselamatan, bebas dari penganiyaan dan kesewenag-wenangan.
3. Hifzh al- Aql, adalah adanya suatu jaminan atas kebebasan berekspresi, kebebasan mimbar, kebebasan mengeluarkan opini, melakukan penelitian, dan berbagai aktivitas ilmiah. Dalam hal ini melarang terjadinya perusakan akal dalam bentuk penyiksaan, penggunaan ekstasi, minuman keras dan lain-lain.
4. Hifzh al Nasl, yaitu jaminan atas kehidupan privasi setiap individu, perlindungan atas profesi (pekerjaan), jaminan masa depan keturunan dan generasi penerus yang lebih baik dan berkualitas. Karena itu, Free sex, zina, homoseksual, menurut syara’ adalah perbuatan yang dilarang karena bertentangan dengan hifzh al-nasl.

5. Hifzh al-Mal, ialah sebagai jaminan atas kepemilikan harta benda, properti dan lain-lain. Larangan adanya tindakan mengambil harta orang lain, mencuri, korupsi, monopoli, dan lain-lain. (Muhammad, 2003:36-37) Mencermati hal tersebut diatas, dapat dipahami bahwa Islam sebagai agama sangat menghormati hak-hak yang ada pada diri manusia termasuk dalam hal penegakkan hukum. Antara hak-asasi manusia dengan hukum adalah bagian integral yang tak dapat dipisahkan. Berpikir tentang hukum otomatis akan berkaitan dengan ide bagaimana keadilan dan ketertiban dapat terwujud. Pengakuan dan pengukuhan hukum pada hakikatnya ditujukan untuk menjamin terjaganya hak asasi manusia. (Sudjana, 2001:47). Persamaan yang dimiliki oleh manusia di muka hukum, tanpa ada perbedaan etnis, agama bangsa, keturunan, kelas, dan kekayan. Juga tanpa dibedakan antara muslim, nasrani, atau lainnya, antara cendekiawan dengan yang bukan, antara yang kuat dengan yang lemah.

Senin, 09 November 2015

ISLAM DAN DEMOKRASI

Jika dilihat dari basis empiriknya, Islam dan demokrasi, menurut Mahasin (1993: 30) merupakan dua sisi yang berbeda. Islam berasal dari wahyu, sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran manusia. Dengan demikian Islam memiliki dialeketikanya sendiri, tidak ada halangan bagi Islam untuk berdampingan dengan demokrasi. Sebagai agama, Islam diyakini dan dipahami merupakan seperangkat ketentuan dan aturan (aqidah wa al-syari‟ah) yang bersumber dari Allah Swt. Agama, dalam keseluruhan aspek ajarannya, dimaksudkan untuk menjadi panduan bagi manusia. Karena agama menjadi panduan bagi kehidupan manusia, berarti agama juga harus menjadi basis bagi semua atau keseluruhan perilaku manusia, yang antara lain meliputi perilaku politik, ekonomi, sosial dan seterusnya.
            Perkembangan demokrasi sejalan dengan perkembangan umat manusia dan telah melahirkan berbagai macam tokoh dan pemikir yang handal. Pemikiran dan aplikasi teoritis dalam kancah pemerintahan sudah lama terbukti dan teruji secara baik dan mengesankan (Effendi, 1996: 86). Walaupun demikian, dalam kapasitas tertentu simbol tersebut perlu dipertanyakan eksistensi dan aplikasinya dalam kehidupan masyarakat dunia dalam skala makro maupun mikro.
            Pemahaman tentang demokrasi dapat dilakukan secara utuh jika dapat dilakukan kajian yang mendalam tentang substansi dari demokrasi dan hal-hal lain yang mendukungnya. Pengalaman dan aplikasi berbagai negara dapat dijadikan sebagai variant model yang muncul mengiringi paket demokrasi, yang dapat disebut sebagai upaya kreatif masing-masing negara dalam merespon isu demokrasi. Upaya kreatif tersebut tidak dianggap sebagai sebuah reduksi dalam memahami dan mencerna isu penting tersebut. Namun, aplikasi demokrasi akan dapat bermakna bagi negara-negara lain jika disesuaikan dengan kondisi sosial-politik dan sosial-budaya masyarakat setempat. Tentu, ada beberapa hal yang sesuai dengan kondisi tertentu dari negara dan tidak cocok bagi negara lain.
            Demokrasi dan kebebasan sering digunakan secara timbal balik. Namun keduanya tidak sama atau berbeda. Demokrasi merupakan seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan dan juga seperangkat praktek dan prosedur tertentu melalui sejarah panjangnya yang berliku-liku. Oleh karena itu, demokrasi sering diartikan sebagai sebuah pelembagaan kebebasan. Dari beberapa penjelasan tentang demokrasi di atas yang bersumber dari beberapa pemikir muslim dan Barat, tempat di mana lahirnya tradisi demokrasi, maka pemahaman tentang demokrasi menjadi suatu yang beragama sesuai dengan konteksnya. Oleh karena itu, tidak dapat disamakan isu-isu demokrasi yang berjalan di negara-negara Barat dengan negara-negara Timur (Islam). Namun, realitas menunjukkan lain, acapkali demokrasi dipaksakan oleh negara maju dengan serangkaian besar dana dan prosedur yang ketat agar demokrasi dilaksanakan sesuai keinginan mereka, padahal locus dan tempos-nya berbeda. Ada yang menerima, menolak dan ada yang memberi apresiasi dengan sewajarnya. Penjelasan terhadap masalah ini dapat dilihat dalam perkembangan pemikiran demokrasi di dunia barat dan implikasinya terhadap Islam dengan memetakan beberapa tokoh Islam dalam menyikapi demokrasi beserta argumentasi yang dibangun oleh masing-masing tokoh tersebut dalam pembahasan berikut ini.
            Muhammad Husein Haikal, salah seorang pemikir muslim dari Mesir, berpendapat bahwa dalam dunia pemikiran, demokrasi pertama kali dicanangkan oleh Islam, menurutnya, semua sistem yang tidak berdiri di atas prinsip-prinsip demokrasi adalah tidak sesuai dengan kaidah-kaidah utama yang ditetapkan dan diserukan Islam. Karena, kaidah-kaidah yang ditetapkan demokrasi merupakan kaidah Islam dan begitu pula dengan prinsip-prinsipnya. Islam dan demokrasi sama-sama berorientasi kepada fitrah manusia. Haikal mendasarkan pikirannya kepada prinsip musyawarah, prinsip persaudaraan Islam, prinsip persamaan, prinsip ijtihad (penalaran pribadi) atau kebebasan berpikir terutama dalam masalah yang tidak ada kaitannya dengan syariah. prinsip legislasi yang wewenangnya hanya dimiliki oleh para hakim dan tidak dimiliki oleh khalifah atau imam, prinsip ijma‟ (kesepakatan para ahli), pengawasan terhadap penguasa, akuntabilitas serta pengendalian nafsu bagi penguasa. Semua itu merupakan prinsip-prinsip dari sistem politik yang dipraktekkan Nabi di Madinah (Kamil, 1999: 58-59).

ISLAM DAN KESETARAAN GENDER



Persoalan mengenai perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama bagi kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). sebagaimana termuat dalam Al-qur’an memperlakukan baik individu perempuan dan laki-laki adalah sama, karena hal ini berhubungan antara Allah dan individu perempuan dan laki-laki tersebut. Dalam perspektif normativitas Islam, tinggi rendahnya kualitas seseorang hanya terletak pada tinggi-rendahnya kualitas pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah swt. Allah memberikan penghargaan yang sama dan setimpal kepada manusia dengan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan atas semua amal yang dikerjakannya.

Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah keluarga, bukan berarti memposisikan laki-laki dan perempuan harus diperlakukan sama. Memperlakukan laki-laki dan perempuan secara sama dalam semua keadaan justru menimbulkan bias jender. Memperlakukan sama antara laki-laki dan perempuan dalam kerja rumah tangga pada satu keadaan, misalnya, suami juga berkewajiban mengurus anaknya, sama halnya istri mempunyai kewajiban mengurus anaknya. Artinya kewajiban mengurus anak tidak mutlak menjadi kewajiban istri semata, tetapi merupakan kewajiban bersama. Sementara itu pemikiran Islam tradisional yang direfleksikan oleh kitab-kitab fiqh secara general memberikan keterbatasan peran perempuan sebagai istri dan ibu. Menurut pemikiran Islam tradisional tersebut bahwa prinsip utamanya adalah bahwa “laki-laki adalah kepala keluarga” dan bertanggung jawab terhadap persoalanpersoalan luar rumah, sedangkan perempuan sebagai istri, bertanggung jawab untuk membesarkan anak dan pelayanan-pelayanan domestik lainnya. Perbedaan ini menjadi titik tolak ukur dari perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang didukung pula dengan Surat (An-nisa:34)

Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas hubungan kaum kaum perempuan dan laki-laki adalah membedakan antara konsep sex (jenis kelamin) dan konsep gender. Pemahaman dan pebedaan antara kedua konsep tersebut sangat diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini disebabkan karena ada kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara luas. Pemahaman atas konsep gender sangatlah diperlukan mengingat dari konsep ini telah lahir suatu analis gender. Istilah gender digunakan berbeda dengan sex. Gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya. Sementara sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah sex lebih banyak berkonsentrasi pada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sementara itu, gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non-biologis lainnya.

Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan yakni: marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan publik, pembentukan sterotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat yang menganut perbedaan gender, ada nilai tatakrama dan norma hukum yang membedakan peran laki-laki dan perempuan. Setiap orang seolah-olah dituntut mempunyai perasaan gender (gender feeling) dalam pergaulan, sehingga jika seseorang menyalahi nilai, norma dan perasaan tersebut maka yang bersangkutan akan menghadapi risiko di dalam masyarakat.

Sayyid Qutb menegaskan bahwa tentang kelipatan bagian kaum pria dibanding kaum perempuan dalam hal harta warisan, sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur’an, maka rujukannya adalah watak kaum pria dalam kehidupan, ia menikahi wanita dan bertanggung jawab terhadap nafkah keluarganya selain ia juga bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan keluarganya itu. Itulah sebabnya ia berhak memperoleh bagian sebesar bagian untuk dua orang, sementara itu kaum wanita, bila ia bersuami, maka seluruh kebutuhannya ditanggung oleh suaminya, sedangkan bila ia masih gadis atau sudah janda, maka kebutuhannya terpenuhi dengan harta warisan yang ia peroleh, ataupun kalau tidak demikian, ia bisa ditanggung oleh kaum kerabat laki-lakinya. Jadi perebedaan yang ada di sini hanyalah perbedaan yang muncul karena karekteristik tanggung jawab mereka yang mempunyai konsekwensi logis dalam pembagian warisan.





ISLAM DAN GLOBALISASI

Perdebatan besar mengenai globalisasi politik adalah berkenaan mengenai nasib negara bangsa modern. Menurut John Gray, globalisasi adalah proses panjang yang dikendalikan oleh teknologi yang bentuk kontemporernya ditentukan secara politik oleh negara-negara yang paling kuat di dunia. Gray juga menyebutkan bahwa, tujuan mendasar prakarsa neoliberal Anglo Amerika untuk merekayasa terbentuknya pasar bebas global. Pengembangan teknologi yang cepat dan tak dapat dielakkan merambah keseluruh dunia yang membuat modernisasi masarakat dunia yang dibimbing oleh adanya teknologi menjadi sebuah ukiran sejarah. Namun dalam hal tersebut Gray juga menegaskan bahwa tidak ada negara yang memiliki kekuatan hegemonik yang dapat mewujudkan pasar bebas sejagad raya. Kekuatan globalasi banyak dimotori oleh kekuatan modal asing yang berwujud perusahaan-perusahaan multinasional dan perusahaan transnasional. Berdasarkan kecenderungan kapitalisme, globalisasi merupakan jalan lanjutan kapitalisme di sebuah negara. Arus globalisasi juga akan terus mengalir dan tidak dapat dibendung. Dalam tingkatan tertentu globalisasi akan mempengaruhi dan membentuk format sosial politik, budaya, maupun agama.
            Dalam praktiknya globalisasi membawa kepada kecenderungan semacam homogenitas budaya. Budaya nasional berinteraksi dengan budaya kosmopolitan dan budaya lokal pun akan berdampingan dengan budaya kosmolitan. Dalam fenomena seperti itu dapat menimbulkan sebuah persepsi dari berbagai pihak karena globalisasi dipandang sebagai problem mendasar yang ikut menentukan kualitas manusia sekarang dan yang akan datang.
            Globalisasi memiliki tiga tanda-tanda besar yang pertama yaitu, globalisasi ditandai oleh menguatnya ruang pribadi. Ruang pribadi untuk mengekspresikan pendapat, jati diri, dan kepribadian semakin menyempit karena banyaknya pesan-pesan atau tuntutan-tuntutan  dari kehidupan modern yang harus dilaksanakan Akibatnya beban moral semakin berat, seolah-olah tidak ada lagi kemerdekaan pribadi untuk mengembangkan ide-ide aslinya. Ditambah lagi nilai-nilai lama dijungkirbalikkan dan diganti dengan nilai-nilai baru yang meterialistis. Kedua, globalisasi adalah sebuah era kompetisi. Globalisasi membesarkan tingkat kompetisi ekonomi politik antar bangsa baik dari kacamata struggle for power maupun kaca mata equilibrium. Globalisasi bagi Daniel Boorstin menjadikan dunia sebagai republik teknologi. Setiap negara lalu dituntut untuk melakukan akselerasi yang tidak tanggung-tangung dalam industrialisasi serta penguasaan IPTEK. Ketiga, globalisasi berarti naiknya intensitas hubungan antar budaya, norma sosial, kepentingan, dan ideologi antar bangsa. Internet dan satelit-satelit komunikasi menghubungkan banyak negara di dunia seolah seperti sebuah desa yang secara sosiologis sering disebut global village. Konsekuensi sangat penting dari globalisasi adalah setiap bangsa dituntut memiliki kesiapan kultural untuk melakukan integrasi terhadap sistem internasional tanpa terkaburkan identitas kesatuan nasionalnya. Selain itu globalisasi menyebabkan terjadinya kesenjangan yang semakin melebar antara moralitas dengan intelektualitas dan menyebabkan semakin besarnya tantangan atau problem kehidupan.
            Globalisasi yang bersifat kompetitif mendorong umat berupaya secara sistematik untuk memproses pembangunan manusia menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, baik fisik intelektual maupun moral. Era globalisasi yang sebagian ditandai oleh maraknya bisnis dan perdagangan memberikan peluang pada umat untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan bisnis. Globalisasi yang membawa peningkatan industrialisasi akan membawa kemakmuran. Atau kemakmuran dapat dicapai melalui globalisasi industri. Setiap kenaikan kemampuan material suatu masyarakat adalah bernilai positif termasuk dari segi peningkatan harkat kemanusiaan masyarakat, baik perseorangan maupun kelompok. Sebab harkat atau martabat kemanusiaan adalah kebahagiaan. Dan ia akan diketemukan hanya dalam keadaan seseorang dapat dengan bebas mengembangkan dirinya.
            Held menegaskan bahwa globalisasi mendukung demokratisasi. Oleh karena dalam globalisasi terdapat prinsip global village yang mengindikasikan persamaan di antara negaranegara. Persamaan ini kemudian menjadi sebuah proses demokratisasi. Pertanyaannya adalah bagaimana Islam memahami demokrasi. Ketika berbicara demokrasi dalam Islam maka banyak sekali keraguan dari dunia Barat termasuk Amerika terhadap umat Islam dalam menjalankan praktik demokrasi. Sekurangnya mereka melihat bahwa kurangnya umat Islam menjalankan demokrasi berasal dari negara-negara Timur Tengah yang kebanyakan tidak menerapkan sistem demokrasi. Misalnya Arab Saudi, Kuwait, dan sebagainya. Oleh karena ada contohnya maka Samuel Huntington dan Francis Fukuyama sempat mensinyalir bahwa Islam tidak sejalan dengan demokrasi. Memang harus diakui, karena kepentingan dan untuk melanggengkan status quo raja di negeri-negeri yang penduduknya muslim sebagian menyampingkan demokrasi. Kita tidak bisa menafikan bahwa di dalam tubuh Islam sendiri terdapat banyak keragaman tentang hubungan Islam dan politik termasuk di dalamnya dengan demokrasi. Varian-varian pemikiran ini bisa terjadi karena Islam memang memberikan ruang perbedaan. Kata Nabi Muhammad SAW, perbedaan di antara umatku adalah rahmat. Jika dilihat dari basis empiris bahwa Islam dan demokrasi memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari manusia. Dengan demikian, agama memiliki aturannya sendiri. Namun begitu, tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi.