Perdebatan
besar mengenai globalisasi politik adalah berkenaan mengenai nasib negara
bangsa modern. Menurut John Gray, globalisasi adalah proses panjang yang
dikendalikan oleh teknologi yang bentuk kontemporernya ditentukan secara
politik oleh negara-negara yang paling kuat di dunia. Gray juga menyebutkan
bahwa, tujuan mendasar prakarsa neoliberal Anglo Amerika untuk merekayasa
terbentuknya pasar bebas global. Pengembangan teknologi yang cepat dan tak
dapat dielakkan merambah keseluruh dunia yang membuat modernisasi masarakat
dunia yang dibimbing oleh adanya teknologi menjadi sebuah ukiran sejarah. Namun
dalam hal tersebut Gray juga menegaskan bahwa tidak ada negara yang memiliki
kekuatan hegemonik yang dapat mewujudkan pasar bebas sejagad raya. Kekuatan globalasi
banyak dimotori oleh kekuatan modal asing yang berwujud perusahaan-perusahaan
multinasional dan perusahaan transnasional. Berdasarkan kecenderungan
kapitalisme, globalisasi merupakan jalan lanjutan kapitalisme di sebuah negara.
Arus globalisasi juga akan terus mengalir dan tidak dapat dibendung. Dalam tingkatan
tertentu globalisasi akan mempengaruhi dan membentuk format sosial politik,
budaya, maupun agama.
Dalam praktiknya globalisasi membawa
kepada kecenderungan semacam homogenitas budaya. Budaya nasional berinteraksi
dengan budaya kosmopolitan dan budaya lokal pun akan berdampingan dengan budaya
kosmolitan. Dalam fenomena seperti itu dapat menimbulkan sebuah persepsi dari
berbagai pihak karena globalisasi dipandang sebagai problem mendasar yang ikut
menentukan kualitas manusia sekarang dan yang akan datang.
Globalisasi memiliki tiga
tanda-tanda besar yang pertama yaitu,
globalisasi ditandai oleh menguatnya ruang pribadi. Ruang pribadi untuk
mengekspresikan pendapat, jati diri, dan kepribadian semakin menyempit karena
banyaknya pesan-pesan atau tuntutan-tuntutan
dari kehidupan modern yang harus dilaksanakan Akibatnya beban moral
semakin berat, seolah-olah tidak ada lagi kemerdekaan pribadi untuk
mengembangkan ide-ide aslinya. Ditambah lagi nilai-nilai lama dijungkirbalikkan
dan diganti dengan nilai-nilai baru yang meterialistis. Kedua, globalisasi
adalah sebuah era kompetisi. Globalisasi membesarkan tingkat kompetisi ekonomi
politik antar bangsa baik dari kacamata struggle for power maupun kaca mata equilibrium.
Globalisasi bagi Daniel Boorstin menjadikan dunia sebagai republik teknologi. Setiap
negara lalu dituntut untuk melakukan akselerasi yang tidak tanggung-tangung
dalam industrialisasi serta penguasaan IPTEK. Ketiga, globalisasi berarti
naiknya intensitas hubungan antar budaya, norma sosial, kepentingan, dan
ideologi antar bangsa. Internet dan satelit-satelit komunikasi menghubungkan
banyak negara di dunia seolah seperti sebuah desa yang secara sosiologis sering
disebut global village. Konsekuensi sangat penting dari globalisasi adalah
setiap bangsa dituntut memiliki kesiapan kultural untuk melakukan integrasi
terhadap sistem internasional tanpa terkaburkan identitas kesatuan nasionalnya.
Selain itu globalisasi menyebabkan terjadinya kesenjangan yang semakin melebar
antara moralitas dengan intelektualitas dan menyebabkan semakin besarnya
tantangan atau problem kehidupan.
Globalisasi yang bersifat kompetitif
mendorong umat berupaya secara sistematik untuk memproses pembangunan manusia
menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, baik fisik intelektual maupun
moral. Era globalisasi yang sebagian ditandai oleh maraknya bisnis dan perdagangan
memberikan peluang pada umat untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan
bisnis. Globalisasi yang membawa peningkatan industrialisasi akan membawa
kemakmuran. Atau kemakmuran dapat dicapai melalui globalisasi industri. Setiap
kenaikan kemampuan material suatu masyarakat adalah bernilai positif termasuk
dari segi peningkatan harkat kemanusiaan masyarakat, baik perseorangan maupun
kelompok. Sebab harkat atau martabat kemanusiaan adalah kebahagiaan. Dan ia
akan diketemukan hanya dalam keadaan seseorang dapat dengan bebas mengembangkan
dirinya.
Held menegaskan bahwa globalisasi
mendukung demokratisasi. Oleh karena dalam globalisasi terdapat prinsip global
village yang mengindikasikan persamaan di antara negaranegara. Persamaan ini
kemudian menjadi sebuah proses demokratisasi. Pertanyaannya adalah bagaimana
Islam memahami demokrasi. Ketika berbicara demokrasi dalam Islam maka banyak
sekali keraguan dari dunia Barat termasuk Amerika terhadap umat Islam dalam
menjalankan praktik demokrasi. Sekurangnya mereka melihat bahwa kurangnya umat
Islam menjalankan demokrasi berasal dari negara-negara Timur Tengah yang
kebanyakan tidak menerapkan sistem demokrasi. Misalnya Arab Saudi, Kuwait, dan
sebagainya. Oleh karena ada contohnya maka Samuel Huntington dan Francis
Fukuyama sempat mensinyalir bahwa Islam tidak sejalan dengan demokrasi. Memang
harus diakui, karena kepentingan dan untuk melanggengkan status quo raja di
negeri-negeri yang penduduknya muslim sebagian menyampingkan demokrasi. Kita
tidak bisa menafikan bahwa di dalam tubuh Islam sendiri terdapat banyak
keragaman tentang hubungan Islam dan politik termasuk di dalamnya dengan
demokrasi. Varian-varian pemikiran ini bisa terjadi karena Islam memang
memberikan ruang perbedaan. Kata Nabi Muhammad SAW, perbedaan di antara umatku
adalah rahmat. Jika dilihat dari basis empiris bahwa Islam dan demokrasi memang
berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari manusia.
Dengan demikian, agama memiliki aturannya sendiri. Namun begitu, tidak ada
halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar