Senin, 09 November 2015

ISLAM DAN GLOBALISASI

Perdebatan besar mengenai globalisasi politik adalah berkenaan mengenai nasib negara bangsa modern. Menurut John Gray, globalisasi adalah proses panjang yang dikendalikan oleh teknologi yang bentuk kontemporernya ditentukan secara politik oleh negara-negara yang paling kuat di dunia. Gray juga menyebutkan bahwa, tujuan mendasar prakarsa neoliberal Anglo Amerika untuk merekayasa terbentuknya pasar bebas global. Pengembangan teknologi yang cepat dan tak dapat dielakkan merambah keseluruh dunia yang membuat modernisasi masarakat dunia yang dibimbing oleh adanya teknologi menjadi sebuah ukiran sejarah. Namun dalam hal tersebut Gray juga menegaskan bahwa tidak ada negara yang memiliki kekuatan hegemonik yang dapat mewujudkan pasar bebas sejagad raya. Kekuatan globalasi banyak dimotori oleh kekuatan modal asing yang berwujud perusahaan-perusahaan multinasional dan perusahaan transnasional. Berdasarkan kecenderungan kapitalisme, globalisasi merupakan jalan lanjutan kapitalisme di sebuah negara. Arus globalisasi juga akan terus mengalir dan tidak dapat dibendung. Dalam tingkatan tertentu globalisasi akan mempengaruhi dan membentuk format sosial politik, budaya, maupun agama.
            Dalam praktiknya globalisasi membawa kepada kecenderungan semacam homogenitas budaya. Budaya nasional berinteraksi dengan budaya kosmopolitan dan budaya lokal pun akan berdampingan dengan budaya kosmolitan. Dalam fenomena seperti itu dapat menimbulkan sebuah persepsi dari berbagai pihak karena globalisasi dipandang sebagai problem mendasar yang ikut menentukan kualitas manusia sekarang dan yang akan datang.
            Globalisasi memiliki tiga tanda-tanda besar yang pertama yaitu, globalisasi ditandai oleh menguatnya ruang pribadi. Ruang pribadi untuk mengekspresikan pendapat, jati diri, dan kepribadian semakin menyempit karena banyaknya pesan-pesan atau tuntutan-tuntutan  dari kehidupan modern yang harus dilaksanakan Akibatnya beban moral semakin berat, seolah-olah tidak ada lagi kemerdekaan pribadi untuk mengembangkan ide-ide aslinya. Ditambah lagi nilai-nilai lama dijungkirbalikkan dan diganti dengan nilai-nilai baru yang meterialistis. Kedua, globalisasi adalah sebuah era kompetisi. Globalisasi membesarkan tingkat kompetisi ekonomi politik antar bangsa baik dari kacamata struggle for power maupun kaca mata equilibrium. Globalisasi bagi Daniel Boorstin menjadikan dunia sebagai republik teknologi. Setiap negara lalu dituntut untuk melakukan akselerasi yang tidak tanggung-tangung dalam industrialisasi serta penguasaan IPTEK. Ketiga, globalisasi berarti naiknya intensitas hubungan antar budaya, norma sosial, kepentingan, dan ideologi antar bangsa. Internet dan satelit-satelit komunikasi menghubungkan banyak negara di dunia seolah seperti sebuah desa yang secara sosiologis sering disebut global village. Konsekuensi sangat penting dari globalisasi adalah setiap bangsa dituntut memiliki kesiapan kultural untuk melakukan integrasi terhadap sistem internasional tanpa terkaburkan identitas kesatuan nasionalnya. Selain itu globalisasi menyebabkan terjadinya kesenjangan yang semakin melebar antara moralitas dengan intelektualitas dan menyebabkan semakin besarnya tantangan atau problem kehidupan.
            Globalisasi yang bersifat kompetitif mendorong umat berupaya secara sistematik untuk memproses pembangunan manusia menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, baik fisik intelektual maupun moral. Era globalisasi yang sebagian ditandai oleh maraknya bisnis dan perdagangan memberikan peluang pada umat untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan bisnis. Globalisasi yang membawa peningkatan industrialisasi akan membawa kemakmuran. Atau kemakmuran dapat dicapai melalui globalisasi industri. Setiap kenaikan kemampuan material suatu masyarakat adalah bernilai positif termasuk dari segi peningkatan harkat kemanusiaan masyarakat, baik perseorangan maupun kelompok. Sebab harkat atau martabat kemanusiaan adalah kebahagiaan. Dan ia akan diketemukan hanya dalam keadaan seseorang dapat dengan bebas mengembangkan dirinya.
            Held menegaskan bahwa globalisasi mendukung demokratisasi. Oleh karena dalam globalisasi terdapat prinsip global village yang mengindikasikan persamaan di antara negaranegara. Persamaan ini kemudian menjadi sebuah proses demokratisasi. Pertanyaannya adalah bagaimana Islam memahami demokrasi. Ketika berbicara demokrasi dalam Islam maka banyak sekali keraguan dari dunia Barat termasuk Amerika terhadap umat Islam dalam menjalankan praktik demokrasi. Sekurangnya mereka melihat bahwa kurangnya umat Islam menjalankan demokrasi berasal dari negara-negara Timur Tengah yang kebanyakan tidak menerapkan sistem demokrasi. Misalnya Arab Saudi, Kuwait, dan sebagainya. Oleh karena ada contohnya maka Samuel Huntington dan Francis Fukuyama sempat mensinyalir bahwa Islam tidak sejalan dengan demokrasi. Memang harus diakui, karena kepentingan dan untuk melanggengkan status quo raja di negeri-negeri yang penduduknya muslim sebagian menyampingkan demokrasi. Kita tidak bisa menafikan bahwa di dalam tubuh Islam sendiri terdapat banyak keragaman tentang hubungan Islam dan politik termasuk di dalamnya dengan demokrasi. Varian-varian pemikiran ini bisa terjadi karena Islam memang memberikan ruang perbedaan. Kata Nabi Muhammad SAW, perbedaan di antara umatku adalah rahmat. Jika dilihat dari basis empiris bahwa Islam dan demokrasi memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari manusia. Dengan demikian, agama memiliki aturannya sendiri. Namun begitu, tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar