Senin, 09 November 2015

ISLAM DAN DEMOKRASI

Jika dilihat dari basis empiriknya, Islam dan demokrasi, menurut Mahasin (1993: 30) merupakan dua sisi yang berbeda. Islam berasal dari wahyu, sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran manusia. Dengan demikian Islam memiliki dialeketikanya sendiri, tidak ada halangan bagi Islam untuk berdampingan dengan demokrasi. Sebagai agama, Islam diyakini dan dipahami merupakan seperangkat ketentuan dan aturan (aqidah wa al-syari‟ah) yang bersumber dari Allah Swt. Agama, dalam keseluruhan aspek ajarannya, dimaksudkan untuk menjadi panduan bagi manusia. Karena agama menjadi panduan bagi kehidupan manusia, berarti agama juga harus menjadi basis bagi semua atau keseluruhan perilaku manusia, yang antara lain meliputi perilaku politik, ekonomi, sosial dan seterusnya.
            Perkembangan demokrasi sejalan dengan perkembangan umat manusia dan telah melahirkan berbagai macam tokoh dan pemikir yang handal. Pemikiran dan aplikasi teoritis dalam kancah pemerintahan sudah lama terbukti dan teruji secara baik dan mengesankan (Effendi, 1996: 86). Walaupun demikian, dalam kapasitas tertentu simbol tersebut perlu dipertanyakan eksistensi dan aplikasinya dalam kehidupan masyarakat dunia dalam skala makro maupun mikro.
            Pemahaman tentang demokrasi dapat dilakukan secara utuh jika dapat dilakukan kajian yang mendalam tentang substansi dari demokrasi dan hal-hal lain yang mendukungnya. Pengalaman dan aplikasi berbagai negara dapat dijadikan sebagai variant model yang muncul mengiringi paket demokrasi, yang dapat disebut sebagai upaya kreatif masing-masing negara dalam merespon isu demokrasi. Upaya kreatif tersebut tidak dianggap sebagai sebuah reduksi dalam memahami dan mencerna isu penting tersebut. Namun, aplikasi demokrasi akan dapat bermakna bagi negara-negara lain jika disesuaikan dengan kondisi sosial-politik dan sosial-budaya masyarakat setempat. Tentu, ada beberapa hal yang sesuai dengan kondisi tertentu dari negara dan tidak cocok bagi negara lain.
            Demokrasi dan kebebasan sering digunakan secara timbal balik. Namun keduanya tidak sama atau berbeda. Demokrasi merupakan seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan dan juga seperangkat praktek dan prosedur tertentu melalui sejarah panjangnya yang berliku-liku. Oleh karena itu, demokrasi sering diartikan sebagai sebuah pelembagaan kebebasan. Dari beberapa penjelasan tentang demokrasi di atas yang bersumber dari beberapa pemikir muslim dan Barat, tempat di mana lahirnya tradisi demokrasi, maka pemahaman tentang demokrasi menjadi suatu yang beragama sesuai dengan konteksnya. Oleh karena itu, tidak dapat disamakan isu-isu demokrasi yang berjalan di negara-negara Barat dengan negara-negara Timur (Islam). Namun, realitas menunjukkan lain, acapkali demokrasi dipaksakan oleh negara maju dengan serangkaian besar dana dan prosedur yang ketat agar demokrasi dilaksanakan sesuai keinginan mereka, padahal locus dan tempos-nya berbeda. Ada yang menerima, menolak dan ada yang memberi apresiasi dengan sewajarnya. Penjelasan terhadap masalah ini dapat dilihat dalam perkembangan pemikiran demokrasi di dunia barat dan implikasinya terhadap Islam dengan memetakan beberapa tokoh Islam dalam menyikapi demokrasi beserta argumentasi yang dibangun oleh masing-masing tokoh tersebut dalam pembahasan berikut ini.
            Muhammad Husein Haikal, salah seorang pemikir muslim dari Mesir, berpendapat bahwa dalam dunia pemikiran, demokrasi pertama kali dicanangkan oleh Islam, menurutnya, semua sistem yang tidak berdiri di atas prinsip-prinsip demokrasi adalah tidak sesuai dengan kaidah-kaidah utama yang ditetapkan dan diserukan Islam. Karena, kaidah-kaidah yang ditetapkan demokrasi merupakan kaidah Islam dan begitu pula dengan prinsip-prinsipnya. Islam dan demokrasi sama-sama berorientasi kepada fitrah manusia. Haikal mendasarkan pikirannya kepada prinsip musyawarah, prinsip persaudaraan Islam, prinsip persamaan, prinsip ijtihad (penalaran pribadi) atau kebebasan berpikir terutama dalam masalah yang tidak ada kaitannya dengan syariah. prinsip legislasi yang wewenangnya hanya dimiliki oleh para hakim dan tidak dimiliki oleh khalifah atau imam, prinsip ijma‟ (kesepakatan para ahli), pengawasan terhadap penguasa, akuntabilitas serta pengendalian nafsu bagi penguasa. Semua itu merupakan prinsip-prinsip dari sistem politik yang dipraktekkan Nabi di Madinah (Kamil, 1999: 58-59).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar