Jika
dilihat dari basis empiriknya, Islam dan demokrasi, menurut Mahasin (1993: 30)
merupakan dua sisi yang berbeda. Islam berasal dari wahyu, sementara demokrasi
berasal dari pergumulan pemikiran manusia. Dengan demikian Islam memiliki
dialeketikanya sendiri, tidak ada halangan bagi Islam untuk berdampingan dengan
demokrasi. Sebagai agama, Islam diyakini dan dipahami merupakan seperangkat
ketentuan dan aturan (aqidah wa al-syari‟ah) yang bersumber dari Allah Swt.
Agama, dalam keseluruhan aspek ajarannya, dimaksudkan untuk menjadi panduan
bagi manusia. Karena agama menjadi panduan bagi kehidupan manusia, berarti
agama juga harus menjadi basis bagi semua atau keseluruhan perilaku manusia,
yang antara lain meliputi perilaku politik, ekonomi, sosial dan seterusnya.
Perkembangan demokrasi sejalan
dengan perkembangan umat manusia dan telah melahirkan berbagai macam tokoh dan
pemikir yang handal. Pemikiran dan aplikasi teoritis dalam kancah pemerintahan
sudah lama terbukti dan teruji secara baik dan mengesankan (Effendi, 1996: 86).
Walaupun demikian, dalam kapasitas tertentu simbol tersebut perlu dipertanyakan
eksistensi dan aplikasinya dalam kehidupan masyarakat dunia dalam skala makro
maupun mikro.
Pemahaman tentang demokrasi dapat
dilakukan secara utuh jika dapat dilakukan kajian yang mendalam tentang
substansi dari demokrasi dan hal-hal lain yang mendukungnya. Pengalaman dan
aplikasi berbagai negara dapat dijadikan sebagai variant model yang muncul
mengiringi paket demokrasi, yang dapat disebut sebagai upaya kreatif
masing-masing negara dalam merespon isu demokrasi. Upaya kreatif tersebut tidak
dianggap sebagai sebuah reduksi dalam memahami dan mencerna isu penting
tersebut. Namun, aplikasi demokrasi akan dapat bermakna bagi negara-negara lain
jika disesuaikan dengan kondisi sosial-politik dan sosial-budaya masyarakat
setempat. Tentu, ada beberapa hal yang sesuai dengan kondisi tertentu dari
negara dan tidak cocok bagi negara lain.
Demokrasi dan kebebasan sering
digunakan secara timbal balik. Namun keduanya tidak sama atau berbeda.
Demokrasi merupakan seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan dan juga
seperangkat praktek dan prosedur tertentu melalui sejarah panjangnya yang
berliku-liku. Oleh karena itu, demokrasi sering diartikan sebagai sebuah
pelembagaan kebebasan. Dari beberapa penjelasan tentang demokrasi di atas yang
bersumber dari beberapa pemikir muslim dan Barat, tempat di mana lahirnya tradisi
demokrasi, maka pemahaman tentang demokrasi menjadi suatu yang beragama sesuai
dengan konteksnya. Oleh karena itu, tidak dapat disamakan isu-isu demokrasi
yang berjalan di negara-negara Barat dengan negara-negara Timur (Islam). Namun,
realitas menunjukkan lain, acapkali demokrasi dipaksakan oleh negara maju
dengan serangkaian besar dana dan prosedur yang ketat agar demokrasi
dilaksanakan sesuai keinginan mereka, padahal locus dan tempos-nya berbeda. Ada
yang menerima, menolak dan ada yang memberi apresiasi dengan sewajarnya.
Penjelasan terhadap masalah ini dapat dilihat dalam perkembangan pemikiran
demokrasi di dunia barat dan implikasinya terhadap Islam dengan memetakan
beberapa tokoh Islam dalam menyikapi demokrasi beserta argumentasi yang dibangun
oleh masing-masing tokoh tersebut dalam pembahasan berikut ini.
Muhammad Husein Haikal, salah
seorang pemikir muslim dari Mesir, berpendapat bahwa dalam dunia pemikiran,
demokrasi pertama kali dicanangkan oleh Islam, menurutnya, semua sistem yang
tidak berdiri di atas prinsip-prinsip demokrasi adalah tidak sesuai dengan
kaidah-kaidah utama yang ditetapkan dan diserukan Islam. Karena, kaidah-kaidah
yang ditetapkan demokrasi merupakan kaidah Islam dan begitu pula dengan
prinsip-prinsipnya. Islam dan demokrasi sama-sama berorientasi kepada fitrah
manusia. Haikal mendasarkan pikirannya kepada prinsip musyawarah, prinsip
persaudaraan Islam, prinsip persamaan, prinsip ijtihad (penalaran pribadi) atau
kebebasan berpikir terutama dalam masalah yang tidak ada kaitannya dengan
syariah. prinsip legislasi yang wewenangnya hanya dimiliki oleh para hakim dan
tidak dimiliki oleh khalifah atau imam, prinsip ijma‟ (kesepakatan para ahli),
pengawasan terhadap penguasa, akuntabilitas serta pengendalian nafsu bagi
penguasa. Semua itu merupakan prinsip-prinsip dari sistem politik yang
dipraktekkan Nabi di Madinah (Kamil, 1999: 58-59).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar