Demokrasi menjamin keberlangsungan
civil society sebagai penyeimbang kekuasaan, dan sebagai agen perubahan ke arah
kehidupan yang lebih mapan. Muncullah berbagai macam civil society yang
menawarkan perubahan-perubahan, salah satunya adalah Hizbut Tahrir (HT).
Gerakan Islam transnasional ini menawarkan perubahan sistem politik yang lebih
radikal, karena akan merubah sistem politik Indonesia ke sistem politik
Khilafah Islamiyah, bentuk Negara republik diganti dengan daulah Islamiyah.
Sistem politik di Negaranegara Islam dan muslim khususnya dan Negara non Islam
pada umumnya menerapkan sistem demokrasi model Barat yang tidak sesuai dengan
syariat Islam, bahkan sistem politik demokrasi oleh HT merupakan sistem kufur.1
Adapun strategi yang digunakan untuk melakukan perubahan adalah dengan dakwah,
maka HTI telah memiliki model dakwah yang dianggap efektif dan efisiensi.
Hizbut Tahrir -
Party of Liberation didirikan oleh Taqiyuddin anNabhani pada tahun 1953 di
Palestina. Organisasi ini menahbiskan dirinya sebagai gerakan politik
(political movement) yang bertujuan membebaskan Islam dari kekuasaan kafir dan
ingin membangun kembali sistem khilâfah alIslâmiyyah. Namun gerakan Hizbut
Tahrir yang akan membangun kembali sistem khilâfah al-Islâmiyyah itu tidak
berada dalam ruang hampa, tetapi dalam ruang (negara) yang telah memiliki
sistem dan ideologi besar dunia yang memainkan peran dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, yakni demokrasi, kapitalisme dan sosialisme, sehingga
kemungkinan terjadinya konflik ideologi tidak dapat dihindari.
Walaupun
demikian, Hizbut Tahrir (HT) dapat berkembang di beberapa Negara. Sampai dengan
tahun 2013, HT telah berdiri di 48 (empat puluh delapan) negara, baik di negara
Islam/Muslim (Kazaktan, Uzbekistan, Pakistan, Arab Saudi, Mesir, Sudan,
Aljazair, Libya, Iran, Irak, Malaysia dan Indonesia), maupun negara sekuler
(Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, Kanada, dan Amerika Serikat).
Semua Negara ini telah menganut sistem politik demokrasi yang di dalamnya hidup
subur kapitalisme. Namun sistem politik demokrasi tersebut ditolak HT bahkan
dikatakan sistem kufur, dengan alasan pertama, kedaulatan mutlak milik syara’,
bukan milik rakyat; kedua, demokrasi adalah sistem kapitalisme murni; ketiga,
al-Hakim adalah Allah, bukan manusia; dan keempat, kebenaran bukan ditentukan
suara mayoritas.
HTI sebagai
gerakan Islam transnasional masuk ke Indonesia pada tahun 1983, dibawa oleh
Abdurrahman al-Baghdadi, seorang mubaligh sekaligus aktivis Hizbut Tahrir dari
Australia yang berasal dari Yordania. Abdurrahman datang ke Bogor untuk
mengajar di Pondok Pesantren alGhazali, kemudian Masjid al-Ghifari IPB
dijadikan sebagai tempat penyemaian ideide HT kepada mahasiswa. Mahasiswa yang
telah menerima dakwah tentang seluk beluk HT, memiliki tugas memperkenalkan HT
kepada aktivis mahasiswa lain di luar perguruan tingginya yang aktif di Lembaga
Dakwah Kampus (LDK), misalnya Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas
Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Hasanuddin
(Unhas), Universitas Erlangga, Universitas Gadjah Mada (UGM), dan lain-lain.
Kehadiran HT
yang membawa ide, gagasan, dan sistem politik Islam sesuai dengan suasana batin
mahasiswa yang sedang mencari solusi dari problem keumatan dan kebangsaan dalam
dimensi politik. Secara sosial-politik, umat Islam selalu terpinggirkan
sehingga tidak memegang peran-peran strategis dalam pemerintahan. Pemerintah
pada saat itu memiliki kiat untuk menjinakkan umat Islam, yakni dengan cara
menciptakan rasa takut kalau berseberangan dengan kebijakan pemerintah.
Peristiwa Tanjung Priok, pemberlakuan asas tunggal Pancasila untuk semua
organisasi massa dan politik, pengebirian kebebasan kampus dengan Normalisasi
Kehidupan Kampus (NKK), menjadi faktor kebangkitan semangat mahasiswa dalam
melakukan gerakan-gerakan. Semangat dakwah, jihad, ijtihad dan pentingnya
pemerintahan yang berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang ditawarkan oleh HT
menjadi tema menarik bagi mahasiswa. HT datang pada saat yang tepat, dan
ide-ide yang disampaikan sesuai dengan kondisi dan dianggap sesuai kebutuhan
pada saat itu, sehingga mudah berkembang ke hampir semua kampus besar di
Indonesia.
Salah satu
tujuan HTI yakni mendirikan ad-daulah al-Islâmiyyah dengan sistem khilâfah
adalah agar memudahkan melakukan dakwah amar makruf nahi munkar. Dakwah yang
dilakukan oleh penguasa akan lebih efektif dibandingkan oleh yang tidak
memiliki kekuasaan. Penguasa memiliki power dapat menyusun undang-undang atau
dustûr atau qanûn dapat disusun berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah, bahkan
syariat Islam dapat dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat. Apalagi dalam
setiap hukum akan disertai dengan sangsi bagi mereka yang tidak mematuhinya.
Ini merupakan kesempatan untuk dapat melaksanakan ajaran Islam secara kâffah dan
mendakwahkan ke seluruh dunia.