Minggu, 10 Januari 2016

Gerakan Islam Transnasional

Demokrasi menjamin keberlangsungan civil society sebagai penyeimbang kekuasaan, dan sebagai agen perubahan ke arah kehidupan yang lebih mapan. Muncullah berbagai macam civil society yang menawarkan perubahan-perubahan, salah satunya adalah Hizbut Tahrir (HT). Gerakan Islam transnasional ini menawarkan perubahan sistem politik yang lebih radikal, karena akan merubah sistem politik Indonesia ke sistem politik Khilafah Islamiyah, bentuk Negara republik diganti dengan daulah Islamiyah. Sistem politik di Negaranegara Islam dan muslim khususnya dan Negara non Islam pada umumnya menerapkan sistem demokrasi model Barat yang tidak sesuai dengan syariat Islam, bahkan sistem politik demokrasi oleh HT merupakan sistem kufur.1 Adapun strategi yang digunakan untuk melakukan perubahan adalah dengan dakwah, maka HTI telah memiliki model dakwah yang dianggap efektif dan efisiensi.
Hizbut Tahrir - Party of Liberation didirikan oleh Taqiyuddin anNabhani pada tahun 1953 di Palestina. Organisasi ini menahbiskan dirinya sebagai gerakan politik (political movement) yang bertujuan membebaskan Islam dari kekuasaan kafir dan ingin membangun kembali sistem khilâfah alIslâmiyyah. Namun gerakan Hizbut Tahrir yang akan membangun kembali sistem khilâfah al-Islâmiyyah itu tidak berada dalam ruang hampa, tetapi dalam ruang (negara) yang telah memiliki sistem dan ideologi besar dunia yang memainkan peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni demokrasi, kapitalisme dan sosialisme, sehingga kemungkinan terjadinya konflik ideologi tidak dapat dihindari.
Walaupun demikian, Hizbut Tahrir (HT) dapat berkembang di beberapa Negara. Sampai dengan tahun 2013, HT telah berdiri di 48 (empat puluh delapan) negara, baik di negara Islam/Muslim (Kazaktan, Uzbekistan, Pakistan, Arab Saudi, Mesir, Sudan, Aljazair, Libya, Iran, Irak, Malaysia dan Indonesia), maupun negara sekuler (Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, Kanada, dan Amerika Serikat). Semua Negara ini telah menganut sistem politik demokrasi yang di dalamnya hidup subur kapitalisme. Namun sistem politik demokrasi tersebut ditolak HT bahkan dikatakan sistem kufur, dengan alasan pertama, kedaulatan mutlak milik syara’, bukan milik rakyat; kedua, demokrasi adalah sistem kapitalisme murni; ketiga, al-Hakim adalah Allah, bukan manusia; dan keempat, kebenaran bukan ditentukan suara mayoritas.
HTI sebagai gerakan Islam transnasional masuk ke Indonesia pada tahun 1983, dibawa oleh Abdurrahman al-Baghdadi, seorang mubaligh sekaligus aktivis Hizbut Tahrir dari Australia yang berasal dari Yordania. Abdurrahman datang ke Bogor untuk mengajar di Pondok Pesantren alGhazali, kemudian Masjid al-Ghifari IPB dijadikan sebagai tempat penyemaian ideide HT kepada mahasiswa. Mahasiswa yang telah menerima dakwah tentang seluk beluk HT, memiliki tugas memperkenalkan HT kepada aktivis mahasiswa lain di luar perguruan tingginya yang aktif di Lembaga Dakwah Kampus (LDK), misalnya Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Hasanuddin (Unhas), Universitas Erlangga, Universitas Gadjah Mada (UGM), dan lain-lain.
Kehadiran HT yang membawa ide, gagasan, dan sistem politik Islam sesuai dengan suasana batin mahasiswa yang sedang mencari solusi dari problem keumatan dan kebangsaan dalam dimensi politik. Secara sosial-politik, umat Islam selalu terpinggirkan sehingga tidak memegang peran-peran strategis dalam pemerintahan. Pemerintah pada saat itu memiliki kiat untuk menjinakkan umat Islam, yakni dengan cara menciptakan rasa takut kalau berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Peristiwa Tanjung Priok, pemberlakuan asas tunggal Pancasila untuk semua organisasi massa dan politik, pengebirian kebebasan kampus dengan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), menjadi faktor kebangkitan semangat mahasiswa dalam melakukan gerakan-gerakan. Semangat dakwah, jihad, ijtihad dan pentingnya pemerintahan yang berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang ditawarkan oleh HT menjadi tema menarik bagi mahasiswa. HT datang pada saat yang tepat, dan ide-ide yang disampaikan sesuai dengan kondisi dan dianggap sesuai kebutuhan pada saat itu, sehingga mudah berkembang ke hampir semua kampus besar di Indonesia.

Salah satu tujuan HTI yakni mendirikan ad-daulah al-Islâmiyyah dengan sistem khilâfah adalah agar memudahkan melakukan dakwah amar makruf nahi munkar. Dakwah yang dilakukan oleh penguasa akan lebih efektif dibandingkan oleh yang tidak memiliki kekuasaan. Penguasa memiliki power dapat menyusun undang-undang atau dustûr atau qanûn dapat disusun berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah, bahkan syariat Islam dapat dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat. Apalagi dalam setiap hukum akan disertai dengan sangsi bagi mereka yang tidak mematuhinya. Ini merupakan kesempatan untuk dapat melaksanakan ajaran Islam secara kâffah dan mendakwahkan ke seluruh dunia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar